kata kunci: bawang , pasar , harga jatuh , bawang merah
Situasi per”bawang”an kita.
Setelah
“musibah” jatuhnya harga Kentang mereda, sekarang berganti dengan
jatuhnya harga Bawang Merah. Lagi-lagi, dalam kejadian carut-marutnya
pemasaran produk pertanian, khususnya sayur dan juga buah Indonesia
akhir-akhir ini, korban yang menderita paling sakit adalah masyarakat
tani. Padahal, dalam proses usaha pertanian yang menjadi basis
perekonomian sebagian besar masyarakat Indonesia, petani merupakan
pelaku paling menentukan terhadap adanya produk itu.
Selain perannya yang penting, dalam proses pengadaan produk, petani harus menjalani proses yang makan waktu paling lama.
Misalnya
pada perjalanan “bawang merah” yang menjadi salah satu kebutuhan pokok
masyarakat konsumen Indonesia ini. Petani memulai membudidayakan bawang
merah dengan membuka tanah, mengolahnya hingga siap tanam membutuhkan
waktu sekitar 20 hari. Proses penanaman – perawatan – hingga panen butuh
waktu rata-rata 65 hari atau dua bulan. Setelah panen, bawang merah
dikeringkan hingga siap dibawa kepasar butuh waktu sekitar 10 – 15 hari.
Jadi total waktu yang dibutuhkan petani untuk menyiapkan bawang merah
hingga siap dipasarkan butuh waktu sekitar 100 hari.
Setelah
itu, bawang merah berpindah ketangan pedagang lokal dan pedagang besar
dipasar induk, membutuhkan waktu sekitar lima hari. Bawang merah lalu
dibawa pedagang pengecer hingga ketangan kekonsumen butuh waktu sekitar
lima hari pula. Artinya, bawang merah berada didunia perdagangan hanya
sekitar 10 hari saja, atau sepersepuluh dari waktu yang dibutuhkan
petani dalam berproduksi. Artinya, kalau semisal dalam proses perjalanan
bawang merah itu timbul masalah, maka penderitaan petani derajatnya
sepuluh kali lebih berat dibanding deritanya para pedagang. Bahkan,
sampai saat ini, semua masalah yang ada diperdagangan bawang merah itu,
oleh pedagang dibebankan kepada petani dengan cara membeli bawang merah
lebih murah. Pedagang akan tetap untung saja, walau harga naik atau
turun. Petanilah yang harus menderita rugi.
Dalam
seratus hari berbudidaya, petani “tidak boleh sakit” dan harus punya
uang. Setelah bibit ditanam, harus menyediakan sekitar 1 ton pupuk
pabrik yang terdiri dari delapan jenis. .
Kalau
terlambat memupuk, tanaman tidak akan normal perkembangannya. Mulai
saat itu pula, petani harus bergelut dengan alam agar proses produksi
berjalan lancar hingga berhasil panen dengan baik.
Pada
musim kemarau, petani berhadapan dengan hama dan kekurangan air.
Dimusim penghujan, petani menghadapi masalah penyakit jamur dan banjir.
Untuk mengatasi hama dan penyakit itu, petani harus memiliki uang untuk
menjinakkannya. Untuk keperluan pupuk & obat-obatan itu, kebanyakan
petani berhutang kepada toko sarana produksi yang ada disekitarnya.
Beruntung ada pengusaha toko yang mau meminjaminya walau petani harus
membayar biaya bunga tinggi yang dibebankan pada peminjaman tersebut.
Untuk
mengatasi kekeringan, petani harus memiliki uang untuk membeli &
mengoperasionalkan pompa air. Sedangkan kalau kebanjiran seperti yang
dialami Wawan dari Kendal, atau banyak petani di Kecamatan Bulakamba,
Wanasari atau Tanjung – Brebes, petani hanya dapat ”pasrah” pada
takdir.
Kalau dihitung
dengan uang, petani yang masih belum tentu memperoleh harga bagus
nantinya itu, harus menyediakan modal yang besar.
Harga jatuh.
Apakah
setelah semua masalah dalam proses budidaya dapat diatasi, dan petani
dapat panen bawang merahnya, lalu tidak ada masalah lagi ?. Jawabnya
belum tentu.
Para petani
tentu menanam bawang merah dengan tujuan untuk dijual. Proses penjualan
inilah yang sangat menentukan apakah petani itu untung (laba) atau malah
”buntung” (merugi).
Nilai
hasil (output) yang diperoleh patani ditentukan oleh jumlah produksi
dan harga penjualan. Seperti produk lainnya, harga penjualan bawang
merah sangat ditentukan oleh banyaknya pasokan kepasar dan kebutuhan
konsumen dalam waktu tertentu.
Sampai
saat ini, belum ada yang mampu mengendalikan jumlah pasokan kepasar
untuk tiap hari, tiap minggu atau tiap bulannya. Yang terjadi, kalau
petani panen bersamaan, mereka secara bersamaan pula menjualnya kepasar
sehingga harga turun.
Mengapa harga ”jatuh”.
Dalam
kondisi ”normal”, artinya, pasokan bawang merah kepasar hanya berasal
dari bawang merah dalam negri, paling turunnya harga ditingkat petani
berada pada posisi sekitar Rp 5.000,-/kg. Hal itu terjadi biasanya saat
panen raya dibulan-bulan Agustus – Oktober. Setelah panen raya berlalu,
pasokan kepasar berkurang, harga naik lagi hingga Rp6.000 – 7.000,-/kg.
Pada kondisi itu petani masih merasa nyaman, walau beberapa petani akan
berada pada posisi ”break-event” saat harga sedikit dibawah Rp5.000,-.
Tetapi kalau harga penerimaan petani Rp5.300,-/kg saja, petani sudah
untung walau sedikit. Tetapi dengan masuknya bawang merah import yang
dijual dipasar induk dengan harga Rp3.000 – 4.000,-/kg, para pedagang
pasar induk tentu akan kebingungan, sehingga bawang lokalnya kalah
bersaing.
Tetapi,
kebingungan para pedagang itu hanya sebentar. Harga bawang lokal
dipasar induk akan ikut diturunkan menyesuaikan dengan harga bawang
merah import. Para pedagang lalu membebankan penurunan harga itu kepada
petani dengan harga pembelian dibawah harga pasar induk. Berapapun
harganya. Para pedagang seperti tidak mau mengerti dengan penderitaan
petani dan harga pembeliannya diturunkan hingga Rp3.000,- /kg bahkan
lebih rendah lagi.
Pedagang
”tidak mau tahu” atau tidak berbuat apa-apa walau tahu, kalau untuk
memproduksi bawang merah sekitar 10 ton selama 100 hari itu, petani
harus mengeluarkan biaya Rp50 juta/ha. Artinya, harga pokok bawang
merah disawah adalah Rp5.000,-/kg. Dengan harga pokok itu, petani tidak
rugi, tetapi juga tidak untung. Kalau harga lalu diturunkan menjadi
Rp4.000,-/kg atau lebih rendah lagi, maka petani akan sangat merugi.
Seperti diketahui, sudah beberapa bulan hingga Desember 2011 ini harga
bawang merah ditingkat petani hanya sekitar Rp3.000,-/kg. Itu berari
benar-benar ”musibah” bagi petani.
Bagimana menghadapi ”perang” bawang merah dipasar?
Cara
pertama adalah dengan menyetop masuknya bawang import, sehingga yang
masuk pasar hanya bawang merah dari sentra-sentranya di Jawa Tengah,
Jawa Timur, NTB atau Jawa Barat. Tetapi kalau cara itu dilakukan, harga
akan menjadi ”normal tinggi” dan ada hal-hal kurang baik yang selama
ini berlangsung diproses budidaya bawang merah ditingkat petani. Proses
yang kurang baik itu bersifat ”pemborosan”, yang juga perusakan dan
pencemaran lingkungan yang membahayakan petani itu sendiri dan
pencemaran produk yang membahayakan konsumen.
Untuk
itu maka perlu ditempuh cara kedua, yaitu mengurangi ”pemborosan” dalam
proses budidaya bawang merah yang terletak pada pengeluaran biaya pupuk
dan pestisida. Di Kendal, Habib mengeluarkan biaya pupuk kimia sebesar
Rp8.240.000,-/ha untuk membeli delapan jenis pupuk dengan jumlah dua ton
!!!. Sementara di Brebes, yang pembudidayaan bawang merah telah
berlangsung puluhan tahun, biaya pupuk buatan itu jauh lebih besar lagi
karena faktor kemampuan lahan yang semakin berkurang. Perlu diketahui
bahwa, dari sekitar dua ton pupuk kimia, kandungan kadar unsur haranya
hanya sekitar 45% atau 900 kg saja. Sementara yang 55% atau sekitar
1.100 kg merupakan bahan pembawa (carier) yang akan tertinggal didalam
tanah, tidak dapat terurai dan menjadi bahan pencemar fisi & kimia
tanah, serta merusak kehidupan biologi tanah. Dengan begitu, daya
produksi tanah semakin tahun akan semakin menurun.
Misalnya,
pada musim lalu dipupuk kimia dua ton, menghasilkan produksi bawang
merah 10 ton, Kalau tahun ini dipupuk lagi dua ton, maka produksi bawang
merah tidak akan kurang dari 10 ton.
Untuk
memperbaiki kerusakan tanah itu, maka pemupukan harus diubah. Dosis
pupuk kimia harus dikurangi secara bertahap dan sebagian harus
digantikan dengan pupuk organik. Pemupukan yang baik dan meningkatkan
kesuburan tanah bila telah tercapai penggunaan pupuk kimia maksimal 25%
dari dosis sekarang dan lainnya digantikan dengan pupuk organik. Agar
juga efisien, para petani harus mampu membuat pupuk organik sendiri
sehingga harga pokoknya lebih murah. Pupuk organik limbah ternak yang
dikombinasi dengan sisa hasil panen, harga pokoknya hanya sekitar
Rp500,-/kg. Penggunaan pupuk organik dapat dimulai dengan dosis 5 ton/ha
+ 50% dari dosis pupuk kimia sekarang.
Pupuk
organik akan mampu memperbaiki kondisi dan kesuburan fisik, kimia &
biologi tanah. Tanah akan lebih gembur mudah diolah, menahan air bila
musim kering dan membentuk granula tanah saat musim hujan, aerasi tanah
baik, akar dapat ”bernafas” dengan baik sehingga penyerapan hara dapat
optimal. Secara kimia, karena bahan organik pula, kandungan Al dan FE
yang selama penggunaan pupuk kimia akan berperan sebagai ”racun” yang
menyerap unsur phosphat akan tercuci sehingga zat-zat makanan menjadi
tersedia bagi tanaman lebih banyak. Kehidupan mikro biologi tanah
menjadi baik, akan mengubah bahan-bahan organik tanah menjadi zat
makanan bagi tanaman. Tanaman akan sehat secara alami sehingga lebih
tahan terhadap hama dan penyakit. Dengan begitu, nantinya akan menghemat
penggunaan pestisida kimia yang membahayakan bagi lingkungan dan
kesehatan manusia itu.
Dengan
cara perbaikan budidaya, khususnya penggunaan pupuk organik dan
pengurangan pupuk kimia dan pestisida kimia, biaya produksi dapat
ditekan, sehingga harga pokoknya dapat ditekan pula. Kalau nantinya
sudah ”normal alami” kembali, harga pokok bawang merah ditingkat petani
dapat turun hingga dibawah Rp3.000,-/kg. Pada kondisi itu, bawang merah
kita yang sebenarnya lebih besar, lebih ”sreng” akan mampu bersaing
dengan bawang import yang ”rasa sreng”nya kurang itu.
Pengaruh
lainnya, konsumen akan diuntungkan. Pertama, akan memperoleh bawang
merah yang ”sehat” dan murah, dan petani telah memperoleh laba atau
untung yang memadai. Perlu diketahui bahwa, kalau sekarang petani senang
dengan harga penjualan Rp6.000,-/kg, lalu dieceran konsumen membeli
dengan harga Rp8.000,-/kg, sebenarnya konsumen susah dan ”pasrah” saja
dengan keadaan. Karena itu begitu ada bawang merah import yang dijual
eceran Rp5.000,- konsumen akan beralih membelinya. Walau rasa ”sreng”nya
kurang, tetapi dapurnya tetap dapat ”ngebul”. Kata Benyamin Suaeb (Alm)
dalam lagunya yang kocak itu.
Cara
lain mengatasi harga bawang merah jatuh itu adalah dengan melakukan
pengaturan waktu panen & pengaturan pemasokan kepasar induk. Untuk
pengaturan waktu panen, perlu kesepakatan antar sentra produksi. Di
Indonesia, sentra produksi yang besar pada 2010 terlihat ada di Jawa
Tengah (45.538 ha), Jawa Timur (26.507 ha), Jawa Barat (12.168 ha) dan
NTB (10.159 ha).
Produksi
nasional bawang merah ditahun 2010 sebesar 1.048.934 ton, dengan
kebutuhan bawang merah 769.958 ton maka sebenarnya masih surplus sebesar
278.000 ton lebih dalam setahun. Namun karena waktu panen yang tak
teratur, kadang pasokan bawang kepasar terlambat dan harga menjadi mahal
dipasar eceran. Waktu itu yang agaknya dimanfaatkan oleh pedagang untuk
memasukkan bawang merah import. Kemudian, setelah bawang import masuk,
berbenturan dengan panen raya, harga menjadi ”jatuh”.
Peran jaringan pasar induk untuk mengatur besarnya pasokan tiap bulan atau tiap minggu menjadi penting disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar